“Eh.. kapan SBY dateng ke ITS? Koq gak jelas gitu. Diundur-undur terus.”
“Insya Allah tanggal 14 koq, hari Selasa minggu depan.”
“Beneran tuh.. gak diundur lagi?"
“Iya koq, berita terupdate begitu."
***
Jum’at, 10 Desember 2010
Pagi ini kumulai aktivitas menuju kampus dengan mengayuh sepedaku, Bouraq. Sepanjang perjalanan, kulihat Bapak berseragam coklat muda yang dipadu coklat tua, seragam serba hitam, juga seragam loreng. Aneh, pikirku dalam hati. Bapak-bapak itu kan jarang terlihat di ITS, koq sekarang sangat mudah dijumpai di ITS. Di masjid, rektorat, pos SKK, bunderan ITS, jalan raya, Graha, hutan kampus kota, serta wilayah kampusku dipenuhi Bapak dan Ibu yang sedang bertugas menjalankan amanah mereka.
Hmm... ada apa ya? Terlihat kasak-kusuk mahasiswa dan mahasiswi yang kujumpai di sepanjang perjalanan membahas hal ini. Dari pada bingung, lebih baik tanya. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada salah satu Bapak yang ada. Setelah mengikuti puteran di bundaran ITS, kuarahkan sepedaku menuju jalan masuk wilayah kampus FTI kota. Kemudian putar balik dan masuk menuju pintu utama. Kulihat ada banyak polisi di pinggiran jalan dekat taman Graha. Ada juga mobil yang diparkir di dekat pintu masuk kampus FTI kota yang dijaga Bapak berbaju serba hitam. Ada satu hal yang menarik perhatianku, ada polisi cantik yang sedang memegang handy talkie yang sesekali melakukan perbincangan serius dengan polisi di sebelahnya.
“Waah.. polwan itu cantik. Tanya sama Ibu itu ah...”, begitu niatku dalam hati.
Niat itu terlewat begitu saja karena kulihat Ibu polwan itu sedang sibuk berbicara dengan HT yang digenggamnya. Akhirnya kuputuskan bertanya pada Bapak berseragam serba hitam yang menjaga mobil.
“Permisi Pak, mau tanya. Ada apa ya koq banyak polisi disini?”, tanyaku.
“Ada panglima datang Mba, mau ngecek tempat SBY ngisi kuliah tamu besok”, jawab Bapak tersebut.
“Oalah.. saya kira ada acara apa, koq heboh gini”.
“Lha iya toh Mba.. Lha wong yang mau dateng orang nomer satu di negeri ini, masak nggak heboh?.”
“Hehehe.. iya ya Pak. Yawdah Pak, terima kasih atas informasinya Pak.”
***
Senin, 13 Desember 2010
Pagi ini seharusnya aku ada kuliah jam 7 pagi. Tapi informasi yang kudapatkan dari salah satu adik di jurusanku adalah: hari ini tidak ada kuliah. Akhirnya kulangkahkan kakiku menunju gedung besar di dekat jurusanku. Pagi ini ada acara gladi bersih. Kulihat Bapak polisi sudah berbaris di lapangan parkir Graha. “Waah.. sepertinya sudah dimulai ni Gladi bersihnya”, pikirku. Kupercepat langkahku dengan mengambil langkah panjang-panjang. akhirnya sampai juga. Kusapa teman-teman yang kujumpai dan yang kukenal di sana. Kusapa juga dosen kuliah Pengantar Technopreneur dan dosen jurusanku. Aku bertanya pada dosenku, bagaimana teknis gladi bersihnya. Beliau mengatakan bahwa gladi bersih dimulai di rektorat sehingga beliau menyarankanku untuk segera menyusul ke sana.
Kemudian aku menyapa teman-temanku dan sedikit berbincang-bincang dengan mereka. Karena aku tidak membawa bouraqku, kuurungkan niat untuk ke rektorat. “Toh nanti ujung-ujungnya juga ke sini”, pikirku dalam hati. Sekian lama aku dan teman-teman njamur-wasting time dengan berbincang-bincang sambil menunggu kejelasan gladi bersih. Tiga puluh menit berlalu, tetap belum ada kepastian. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada bapak-bapak angker-seragam hitam dengan tulisan PM di lengan- itu. Ternyata, bapak-bapak itu juga tidak tahu. Huff... Kutarik nafas panjang. Aku segera kembali ke tempat duduk untuk menunggu. Tiga puluh menit berikutnya, aku bangkit lagi, mencari kejelasan info gladi bersih. Kulihat mahasiswa berbaris menaiki tangga dengan sangat teratur. “Oh.. mungkin ini teman-teman yang dari rektorat”, pikirku dengan cepat.
Aku bertanya pada Ibu-Ibu cantik (aku gak tahu Ibu ini siapa karena seragamnya putih-hitam, antara polwan dan bukan, mungkin intel kali..) yang membuat barikade di sekitar tangga. Jawaban yang kurang memuaskan dari Ibu itu. Masih belum ada kejelasan mengenai gladi bersih ini. Sedikit pencerahan kudapat ketika aku dan seorang temanku menghampiri Bapak berperawakan polisi tapi berkemeja cream dan bawahan gelap. Sekali lagi kami menanyakan kejelasan gladi bersih, akhirnya dapat juga. Uups, belakangan aku baru tahu kalau Bapak yang kutanyai tadi adalah dosen ITS.
Aku dan dua orang temanku mencoba mencari sebnyak-banyaknya info ke lantai 2. Di sana, kulihat teman-teman memenuhi barisan terdepan kursi yang telah di tata bershaf-shaf. Ada seorang ibu dan bapak yang sibuk mengatur tempat duduk mahasiswa. Ibu itu terlihat lelah sekali. Beberapa bulir keringat menetes di wajah beliau. Dengan segera, beliau mengusapnya, berhenti sejenak, menarik nafas panjang, dan melanjutkan kembali pekerjaannya. Sekian lama aku memperhatikan aktivitas Ibu itu. “Mmm... mungkin ibu ini punya banyak info, aku harus tanyai beliau!”, gumamku.
Aku kembali memperhatikan gerak-gerik Ibu dan Bapak itu. Hingga akhirnya aku mendapat celah untuk menghampiri keduanya kemudian menanyakan kejelasan gladi bersih dan pembagian tempat duduk. Ibu itu menjelaskan bahwa beliau hanya mengatur mahasiswa yang duduk di bangku dua terdepan di lantai dua. Selain itu bukan tanggung jawab beliau. Aku pun menawarkan bantuan untuk sedikit meringankan pekerjaan Ibu tersebut, namun beliau menolaknya dengan alasan masih bisa dikerjakan sendiri. Aku segera kembali ke tempat duduk dengan sedikit kecewa. Namun, kekecewaan itu tidak berlangsung lama karena seorang temanku menghampiri tempat dudukku dan teman-temanku dengan membagi-bagikan snack. Alhasil, hampir selama 2 jam di graha aku dan teman-teman hanya mendapatkan snck saja, kejelasan gladi bersih belum kudapatkan. Namun mengenai pembagian tempat duduk, aku sudah mendapatkan informasi dari seorang dosen yang bertanggung jawab atas hal ini.
***
“Kepada Mas dan Mba serta teman-teman, harap mengambil undangan kuliah tamu di sekretariat HMTI”, begitu sms yang kudapati di layar hpku. Maka, sebelum berangkat kuliah Pengantar Technopreneur di Material, kusempatkan mampir di sekret HMTI untuk mengambil undangan.
“Besok dibawa Mba undangannya, klo gak bawa undangan ntar gak bisa masuk”, terang adik yang memberiku undangan di sekretariat HMTI.
“OK. Makasih Dek”, setelah berucap aku segera meninggalkan kampusku dan berangkat menuju tempat kuliah selanjutnya.
“Hey, Mba, ketemu lagi...”, sapaku pada seorang teman sekelas di mata kuliah Techno. Mba Via, Sipil 2006. Tadi pagi aku berjumpa di Graha waktu persiapan gladi bersih.
“Eh, udah dapet undangannya?” tanya Mba Via padaku.
“Udah Mba. Ada apa?”, timpalku.
“Aku belum dapet ni, masih belum jelas dapet ato gak”, ujar Mba Via lagi.
“Emm.. Mba Via ini diundang dari jurusan kah?”
“Enggak Dek. Aku daftar lewat sms itu lho, nitip temanku.”
Aku menjelaskan kepada Mba Via bahwa ada misscomunication yang terjadi antara mahasiswa dengan pihak birokrasi. Pihak BEM ITS menyangka bahwa undangan yang terkonfirmasi masih sedikit sehingga tempat kuliah tamu banyak yang kosong. Kemudian pihak BEM berinisiatif untuk membuka pendaftaran via sms bagi mahasiswa yang ingin mengikuti kuliah tamu. Belakangan, diketahui bahwa kursi kosong yang tersisa dialihkan untuk jurusan di ITS sehingga setiap jurusan mengirimkan perwakilan mahasiswa dan dosennya. Mahasiswa yang daftar via sms pun batal hadir dalam kuliah tamu tersebut. Setelah kuberikan penjelasan, Mba Via segera menghubungi temannya. Ternyata dia mendapatkan undangan dari jurusan. “Alhamdulillah... Rejeki Mba... ujarku.”
***
Selasa, 14 Desember 2010
Tidak biasanya pada pukul 6 pagi, ITS sudah ramai. Keramaian ini terlihat di daerah parkiran BAAK dan sekitar rektorat. Di depan gedung rektorat, terlihat beberapa bus dan Elf bertuliskan Institut Teknologi Sepuluh Nopember berbaris berjajaran. “Oh, itu bis yang mau dipake ngantar peserta kuliah tamu ke Graha”, ucapku pada seorang temanku yang berangkat bersamaku. Euforia kedatanagn SBY disambut sukacita oleh civitas akademika ITS. Mereka yang mendapatkan undangan kuliah tamu berdatangan di gedung rektorat. Sarapan telah disediakan, para civitas akademika yang memenuhi gedung rektorat segera mengambil jatah sarapannya hingga nasi kotak yang telah dijatah pas sesuai jumlah undangan kehabisan dan digantikan sego njamur. Setelah sarapan, para undangan mengambil id yang terdapat foto dan bertuliskan namanya. Beberapa mahasiswa yang merupakan undangan dari jurusan dengan mudah mendapatkan idnya. Sedangkan para aktivis ormawa yang juga mendapatkan undangan terlihat berkumpul di ruang sidang rektorat lantai 1 untuk menunggu kejelasan id.
Aku mendapatkan undangan dari jurusan, namun aku sedikit menemui kesulitan dalam mengambil id karena pada saat mengambil id harus menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Pada saat itu, aku tidak membawa KTM, yang kubawa adalah Kartu RBTI. Aku baru tahu info tersebut, padahal desas-desus yang beredar bahwa boleh menunjukkan kartu apapun yang penting ada foto dan menunjukkan mahasiswa ITS. Kutarik nafas panjang. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil KTM ku yang berada di salah satu Laboratorium jurusanku. Dengan berjalan kaki aku berangkat ke TI. Kupercepat langkahku supaya lebih cepat sampai di lab dan segera berangkat ke graha.
Seragam coklat. Itulah orang yang perama kali kulihat dikampusku. Kampusku dijaga ketat oleh mereka. Bapak-bapak ini kulihat tidur-tiduran di kantin dan di tempat duduk sekitar kantin. Ada juga yang sedang merokok dan berbincang-bincang dengan temannya.
“Permisi Pak, saya mau ke Lab itu (sambil menunjuk Lab APK, Jurusan Teknik Industri ITS). Saya mau mengembil KTM saya Pak.”
Pak polisi yang sedang jagongan di depan Lab APK malah nyangar-nyengir. Salah satu dari mereka menimpali dengan santai, “Iya Mba.. Mongo.. monggo..”.
Aku menarik nafas panjang. Ngeri juga melihat seragam coklat-coklat dan seragam serba hitam jagongan di kampus. Eits.. yang ini bukan adik-adik pramuka yang sedang berkunjung ataupun adik-adik yang sedang berlatih bela diri Lho... Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam satuan kemanan negara TNI dan Polri.
Dengan segera, aku memasukkan kunci pada lubang pintu dan membuka pintu Lab APK yang terbuat dari kayu. Aku berusaha secepat mungkin mengambil KTMku yang diletakkan di pintu lemari kaca Lab.
“Hup. Alhamdulillah.. KTMku aman..”
Dengan menggunakan segala daya dan upaya, aku segera kembali ke gedung rektorat. Aku tidak ingin kehikangan kesempatan emas ini gara-gara tidak membawa KTM. Sesampai di rektorat, aku pun bergegas ke tempat pengambilan ID-cad peserta. Setelah mendapatkannya, aku merasa lega karena sudah aman. Semua yang menjadi syarat untuk ikut kuliah umum RI 1 sudah kubawa.
Terdengar desas-desus bahwa peniti dilarang dipakai ke tempat kuliah umum di Graha. Whats..??? Informasi ini sungguh mengejutkanku. Beberapa teman yang menyapaku berkata bahwa jika mau ikut kuliah tamu, dilarang menggunakan benda-benda seperti peniti, pin, bros, dan benda lainnya. Hal ini dikarenakan sebelum keluar gedung rektorat, ada sebuah alat penyensor benda-benda berbahaya, termasuk peniti.
Mendengar hal tersebut, aku tidak langsung percaya. Aku pergi ke bagian tengah gedung rektorat lantai 1. Aku melihat para mahasiswi yang sebelumnya kulihat rapi berjilbab, kini mulai tersibukkan dengan dandanan jilbabnya. Mereka mencoba berjilbab tanpa menggunakan peniti ataupun sejenisnya. Caranya dengan dililil-lilitkan di sekitar leher kemudian dimasukkan bagian ujung jilbab ke bagian depan celah jilbab dekat pipi. Subhanallah... Aku terpesona dengan perjuangan mereka. Mereka sangat memiliki niat dan komitmen yang tinggi untuk tetap mengikuti kuliah umum RI 1 yang tergolong langka ini (karena baru pertama kali ada kuliah tamu RI 1 di ITS). Satu hal yang sangat aku sayangkan dari mereka yang telah berangkat terlebih dahulu menuju Graha? Mengapa tak seorang pun yang memperjuangkan hak seorang muslimah untuk mengikuti kuliah tamu RI 1 ini...? Semangatku untuk memperjuangkan para muslimah telah bulat. Dengan sedikit emosi, aku menghampiri petugas yang memeriksa pintu keluar gedung rektorat menuju bis pengantar ke Graha.
“Permisi Bapak, saya mau tanya”, ucapku.
“Iya Dek, ada apa?”, jawab petugas berpakaian serba hitam yang sedang berdiri di dekat pintu kaca gedung rektorat. Di sekelilingnya ada beberapa perempuan berpostur layaknya polwan yang tampil layaknya seorang model yang tegas dan berbadan tegap.
“Begini Bapak, saya mau mengkroscek informasi, apakah benar kita tidak boleh memakai peniti untuk menghadiri kuliah tamu RI 1? Klo informasi itu benar, kenapa penti tidak boleh digunakan?”, tanyaku berurutan.
“Iya Dek, informasi itu benar. Pemakaian peniti memang dilarang, karena kami tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama”, jawab petugas itu.
Di sekelilingku, banyak orang berjalan hilir mudik, menunggu kepastian keberangkatan. Ada juga yang dengan mudah melewati pintu penyensor dan lolos sensor, kemudian menaiki bus untuk berangkat ke graha. Kebanyakan mereka yang dengan mudah melewati screening awal du pintu rektorat adalah para dosen dan karyawan, serta mahasiswa yang tidak melibatkan peniti atau barang sejenisnya dalam kehidupan mereka.
Dengan emosi yang sudah memuncak aku tetap mencoba memperjuangkan benda kecil berbahan logam untuk tetap bisa digunakan para muslimah berangkat menuju graha, menyaksikan kuliah umum orang nomor 1 di Indonesia. Aku pun mengajukan pembelaan kepada petugas tadi. Kali ini, mbak-mbak yang ada di sekeliling petugas tadi juga siap menimpali pertanyaanku, ataupun siap bertindak mengamankanku jika aku melakukan aksi anarkis. Berlagak sok cool dan gaya santai dicampur gaya sok akrab ke petugas dan mbak-mbak itu, aku melakukan lobying.
“Waduuh Pak... ini kan cuman benda kecil. Peniti. Emang mau dibuat apa to sampai-sampai ketemu presiden aja nggak boleh pake peniti. Peniti juga nggak tajam-tajam amat. Tajeman silet, cutter, ato pisau. Nggak mungkin kita melukai presiden atau orang-orang di sana pake peniti...”, ujarku.
“Yang namanya peraturan, ya peraturan Dek. Dilarang ya dilarang. Kenapa peniti nggak boleh dipakai, karena beberapa waktu yang lalu, waktu ada kunjungan Boediono di Grand City, Surabaya, kami kecolongan. Para peserta yang ikut dalam acara Boediono itu masuk dengan membawa kain yang dipotong kecil-kecil dan disembunyikan di saku pakaian mereka. Di dalam ruangan, mereka menyambung potongan-potongan kain itu pake peniti sampai jadi seperti sapnduk dengan tulisan ‘Turunkan Boediono!’, jawab petugas itu.
“Oo gitu Pak.. Tapi kita mahasiswi ITS nggak bakalan macem-macem Pak. Nggak mungkin kami bertindak seanarkis itu. Kasihan loo Pak, saya dan teman saya udah siap berangkat, eh.. gara-gara peniti nggak bisa berangkat. Mereka sudah sejak pagi di sini, nunggu lama, tapi ternyata nggak boleh ikut.”
“Lhoo Dek.. ada koq yang pake jilbab juga tapi berangkat. Dia lho pake jilbabnya juga bagus, dililitkan ke leher gitu.”
“Hmm... menurut saya Pak, mereka sebenernya juga nggak nyaman. Bisa aja ntar jilbabnya tiba-tiba lepas lilitannya, eh.. malah nggak karuan. Dalam Islam Pak, jilbab seperti itu juga nggak syar’i karena kecil dan terasa terhimpit dililit jilbab. Gini deh Pak.. Saya berani jadi jaminan kalau ada mahasiswi yang memakai peniti bertindak anarkis, saya siap bertanggung jawab. Saya mau ketemu atasan Bapak langsung aja. Saya mau ijin langsung. Masak peniti aja nggak boleh dipake?”
“Atasan saya lagi nggak di sini Dek. Dia bertugas di Graha.”
“Yaah.. sama aja donk Pak, saya nggak bisa ke sana.”
“Yaudah.. ke rektormu aja”, saran petugas itu.
“Waah.. sepertinya tidak ada solusi yang tepat. Rektor saya pastinya juga sudah di Graha Pak. Yaudah deh Pak. Makasii atas infonya,” aku menutup pembicaran dengan petugas itu dengan rasa kecewa. Kemudian aku segera menemui teman-teman yang ada di pintu samping rektorat. Aku menceritakan semua isi pembicaraanku. Selesainya aku bercerita, teman-temanku juga memberikan respon yang sama seperti responku mengakhiri pembicaraan tadi.
“Oke.. tidak ada jalan lain. Kita harus pulang mengambil krdung yang langsungan. Karena kita harus tetap masuk. Jangan sampai melewatkan momen langka ini”, ujar Rahma.
“Yawdah deh.. aku ta pulang ngambil krudung. Ayok, siapa yang mau ikut aku ngambil krudung?, tanyaku pada teman-teman.
“Aku aja, ni aku bawa motor”, timpal seorang temanku bernama Ais.
“Oke.. ayo bergegas.. Ngebut y ntar.. supaya nggak ketinggalan”.
“Siip...”, jawab Ais.
Sesampainya di kos, aku segera mengambil semua krudung langsungan yang kupunya. Aku pun segera berganti krudung, beitu juga Ais. Kuraih tas yang tergeletak di lantai kamar, lalu kumasukkan semua krudung yang kupunya. “Ini untuk teman-teman yang lain juga, siapa tahu ada yang butuh”, batinku.
Aku berlari-lari menuju ke gedung rektorat setelah Ais menurunkanku di jalan depan Rektorat. Ais menyuruhku berangkat duluan, memberikan krudung-krudung itu, smentara ia memarkir sepeda motor. Dengan nafas terengah-engah, aku menawarkan krudung kepada teman-teman yang telah menungguku, mirip penjual asongan yang menawarkan dagangannya kepada para penumpang bus.
“Sementara ini, yang sudah jelas pasti berangkat adalah Rahma dan Hajar. Karena semua persyaratan sudah terpenuhi. Id-card, KTM, dan tanpa peniti. Kalian berangkat dulu aja”, ujar Fathin.
“Oke, aku berangkat dulu. Ayok Rahma...”, ajakku pada Rahma.
Aku dan Rahma segera bergegas menuju pintu penyensor itu. Melewati pintu yang dijaga petugas yang kutanya tadi dan mbak-mbak model yang sigap dan tegas. Aku dan Rahma lolos screening awal di gedung rektorat. Kemudian kami segera menaiki bus berwarna abu-abu yang bertuliskan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Bis mini yang kunaiki ini hanya dinaiki 4 orang penumpang. Meskipun jumlah bangku yang tersedia ada 30, sopir bis ITS tidak menunggu sampai penumpang penuh. Bis ini langsung berangkat karena mengejar waktu yang mepet dengan pembukaan kuliah tamu RI 1. Di bunderan ITS, kulihat banyak sekali bapak-bapak berseragam coklat dan berseragam hitam berdiri, bersiap siaga memblokade jalan. Jalan Kertajaya sudah dikosongkan dari kendaraan jenis apapun. Itu artinya RI 1 beserta rombongannya sedang dalam perjalanan menuju ke Graha ITS dan bis yang kunaiki otomatis harus mencari jalan lain menuju Graha.
Supir bis dengan keahlian yang dimiliki segera mengoper persneling dan melajukan bis ke arah jalan Asempayung. Kemudian berbelok ke kiri dan melaju di Jalan Arief Rahman Hakim. Di pertigaan Sakinah Supermarket, bis berbelok dan melesat di sekitar kampus ITS. Arah yang diambil supir bis adalah ke PPNS. Bis dan awaknya melaju dengan cepat melalui gedung-gedung jurusan di ITS. Teknik Elektro, Teknik Material, Teknik Kimia, Teknik Perkapalan, Teknik Kelautan, Teknik Informatika, Desain Produk, PPNS dan PENS. Alhamdulillah jalan raya ITS sudah dibuka. Berarti RI 1 dan rombongan telah memasuki kompleks Graha. Aku membatin dalam hati, “Apakah masih bisa masuk? Harus bisa lah...”. Teringat perjuangan panjangku sebelum menaiki bis ini.
Bis berhenti di pintu masuk sebelah utara Graha. Supir bis bingung mau masuk melalui pintu yang mana. Aku nekat turun di pintu tersebut untuk masuk Ke Graha. Namun kernet bus melarangku karena pintu itu bukan pintu masuknya. Aku mencoba bersabar. Akhirnya bis melaju lagi dan memasukipintu utama Graha. Aku melihat dari jendela bis, mobil-mobil berwarna hitam telah memadati tempat parkir utama Graha. Mobil berplat merah dan hitam dengan berbagai jenis warna dan merk juga memadati semua area parkir Graha. Dari jendela bis, aku juga melihat beberapa orang yang baru saja datang dan menuju pintu penyensor kedua ditolak kehadirannya oleh petugas yang menjaga. Alasannya karena acara sudah dimulai. Bis yang kunaiki belum berhenti, beberapa menit kemudian terlihat dua bus ITS yang membawa mahasiswa mengekor di belakang bus ku. Mereka turun, saya dan penumpang bus lainnya juga turun, berharap bisa masuk dan mengikuti kuliah tamu RI 1. Kedatangan kami ditolak oleh petugas yang berjaga. Kami datang terlambat, sementara Presiden RI sudah memasuki ruangan. Aku menghela nafas panjang. SABAR. Kemudian, kami para penumpang bus, kembali ke rektorat untuk melanjutkan aktivitas yang lain.
“Okee.. plan B..!! Nggak ikut kuliah tamu nggak masalah. Berarti kita bisa ikut aksi”, kataku pada Rahma untuk menyemangati diriku sendiri.
“Oke Mba. Siip..!!”, timpal Rahma.
Setelah bus ITS menurunkan para penumpang di gedung Rektorat, aku dan Rahma segera menuju ke BEM untuk bergabung dengan teman-teman yang berangkat aksi. Teman-teman BEM yang melihat kedatanganku kaget. Mereka menanyaiku mengapa nggak jadi ikut kuliah tamu RI 1. Setelah ku ceritakan, merekayang melihat kedatanganku kaget. Mereka menanyaiku mengapa tidak jadi ikut kuliah tamu RI 1. Setelah ku ceritakan, mereka memberikan respon yang bermacam-macam. Ada yang membesarkan hatiku, ada yang merutuki petugas-petugas itu, ada juga yang langsung mengajakku berangkat aksi.
Akhirnya, aku tergabung dalam barisan mahasiswa yang terbalut dengan kain berwarna biru. Mereka, para peserta aksi, menggunakan jas almamater masing-masing kampus. Para peserta aksi itu tidak hanya dari ITS tapi juga dari BEM UNAIR dan UMS. Dalam barisan ini, aku turut mengondisikan peserta aksi, mahasiswa yang lebih muda usianya dari ku. Memasok logistik dan membeli perlengkapan aksi, setidaknya itulah kontribusi nyataku dalam aksi ini. Dari pada duduk manis mendengarkan kuliah tamu dan tidak bisa berbuat apa-apa, lebih baik ikut aksi, begitu pikirku. Banyak teman-teman dari berbagai media yang meliput aksi kami, para mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI – Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia. Aksi BEM SI kali ini sangat unik, tidak hanya orator saja yang menyuarakan suara hati kami. Tak hanya cukup drama teatrikal saja. Namun juga ada aksi dorong-dorongan dengan bapak-bapak Polisi. Hmm... sekali lagi, lebih berkesan dari pada hanya duduk menonton orang bicara.
Sebaik-baik manusia merencanakan, rencana Allah-lah yang paling Indah. Subhanallah... Puji syukur Alhamdulillah tak hentinya kupanjatkan. Hanya gara-gara peniti, aku tak jadi mengikuti kuliah tamu RI 1. Namun aku merasa menjadi lebih berarti karena aku bisa ikut aksi ini. Hmm... pupuslah harapan setelah sekian lama berharap bisa berjumpa dan menyaksikan secara langsung RI 1 berpidato. But.. It's never mind... Insya Allah masih ada kesempatan lain.
********* Sekian..********
»» READMORE...
“Insya Allah tanggal 14 koq, hari Selasa minggu depan.”
“Beneran tuh.. gak diundur lagi?"
“Iya koq, berita terupdate begitu."
***
Jum’at, 10 Desember 2010
Pagi ini kumulai aktivitas menuju kampus dengan mengayuh sepedaku, Bouraq. Sepanjang perjalanan, kulihat Bapak berseragam coklat muda yang dipadu coklat tua, seragam serba hitam, juga seragam loreng. Aneh, pikirku dalam hati. Bapak-bapak itu kan jarang terlihat di ITS, koq sekarang sangat mudah dijumpai di ITS. Di masjid, rektorat, pos SKK, bunderan ITS, jalan raya, Graha, hutan kampus kota, serta wilayah kampusku dipenuhi Bapak dan Ibu yang sedang bertugas menjalankan amanah mereka.
Hmm... ada apa ya? Terlihat kasak-kusuk mahasiswa dan mahasiswi yang kujumpai di sepanjang perjalanan membahas hal ini. Dari pada bingung, lebih baik tanya. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada salah satu Bapak yang ada. Setelah mengikuti puteran di bundaran ITS, kuarahkan sepedaku menuju jalan masuk wilayah kampus FTI kota. Kemudian putar balik dan masuk menuju pintu utama. Kulihat ada banyak polisi di pinggiran jalan dekat taman Graha. Ada juga mobil yang diparkir di dekat pintu masuk kampus FTI kota yang dijaga Bapak berbaju serba hitam. Ada satu hal yang menarik perhatianku, ada polisi cantik yang sedang memegang handy talkie yang sesekali melakukan perbincangan serius dengan polisi di sebelahnya.
“Waah.. polwan itu cantik. Tanya sama Ibu itu ah...”, begitu niatku dalam hati.
Niat itu terlewat begitu saja karena kulihat Ibu polwan itu sedang sibuk berbicara dengan HT yang digenggamnya. Akhirnya kuputuskan bertanya pada Bapak berseragam serba hitam yang menjaga mobil.
“Permisi Pak, mau tanya. Ada apa ya koq banyak polisi disini?”, tanyaku.
“Ada panglima datang Mba, mau ngecek tempat SBY ngisi kuliah tamu besok”, jawab Bapak tersebut.
“Oalah.. saya kira ada acara apa, koq heboh gini”.
“Lha iya toh Mba.. Lha wong yang mau dateng orang nomer satu di negeri ini, masak nggak heboh?.”
“Hehehe.. iya ya Pak. Yawdah Pak, terima kasih atas informasinya Pak.”
***
Senin, 13 Desember 2010
Pagi ini seharusnya aku ada kuliah jam 7 pagi. Tapi informasi yang kudapatkan dari salah satu adik di jurusanku adalah: hari ini tidak ada kuliah. Akhirnya kulangkahkan kakiku menunju gedung besar di dekat jurusanku. Pagi ini ada acara gladi bersih. Kulihat Bapak polisi sudah berbaris di lapangan parkir Graha. “Waah.. sepertinya sudah dimulai ni Gladi bersihnya”, pikirku. Kupercepat langkahku dengan mengambil langkah panjang-panjang. akhirnya sampai juga. Kusapa teman-teman yang kujumpai dan yang kukenal di sana. Kusapa juga dosen kuliah Pengantar Technopreneur dan dosen jurusanku. Aku bertanya pada dosenku, bagaimana teknis gladi bersihnya. Beliau mengatakan bahwa gladi bersih dimulai di rektorat sehingga beliau menyarankanku untuk segera menyusul ke sana.
Kemudian aku menyapa teman-temanku dan sedikit berbincang-bincang dengan mereka. Karena aku tidak membawa bouraqku, kuurungkan niat untuk ke rektorat. “Toh nanti ujung-ujungnya juga ke sini”, pikirku dalam hati. Sekian lama aku dan teman-teman njamur-wasting time dengan berbincang-bincang sambil menunggu kejelasan gladi bersih. Tiga puluh menit berlalu, tetap belum ada kepastian. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada bapak-bapak angker-seragam hitam dengan tulisan PM di lengan- itu. Ternyata, bapak-bapak itu juga tidak tahu. Huff... Kutarik nafas panjang. Aku segera kembali ke tempat duduk untuk menunggu. Tiga puluh menit berikutnya, aku bangkit lagi, mencari kejelasan info gladi bersih. Kulihat mahasiswa berbaris menaiki tangga dengan sangat teratur. “Oh.. mungkin ini teman-teman yang dari rektorat”, pikirku dengan cepat.
Aku bertanya pada Ibu-Ibu cantik (aku gak tahu Ibu ini siapa karena seragamnya putih-hitam, antara polwan dan bukan, mungkin intel kali..) yang membuat barikade di sekitar tangga. Jawaban yang kurang memuaskan dari Ibu itu. Masih belum ada kejelasan mengenai gladi bersih ini. Sedikit pencerahan kudapat ketika aku dan seorang temanku menghampiri Bapak berperawakan polisi tapi berkemeja cream dan bawahan gelap. Sekali lagi kami menanyakan kejelasan gladi bersih, akhirnya dapat juga. Uups, belakangan aku baru tahu kalau Bapak yang kutanyai tadi adalah dosen ITS.
Aku dan dua orang temanku mencoba mencari sebnyak-banyaknya info ke lantai 2. Di sana, kulihat teman-teman memenuhi barisan terdepan kursi yang telah di tata bershaf-shaf. Ada seorang ibu dan bapak yang sibuk mengatur tempat duduk mahasiswa. Ibu itu terlihat lelah sekali. Beberapa bulir keringat menetes di wajah beliau. Dengan segera, beliau mengusapnya, berhenti sejenak, menarik nafas panjang, dan melanjutkan kembali pekerjaannya. Sekian lama aku memperhatikan aktivitas Ibu itu. “Mmm... mungkin ibu ini punya banyak info, aku harus tanyai beliau!”, gumamku.
Aku kembali memperhatikan gerak-gerik Ibu dan Bapak itu. Hingga akhirnya aku mendapat celah untuk menghampiri keduanya kemudian menanyakan kejelasan gladi bersih dan pembagian tempat duduk. Ibu itu menjelaskan bahwa beliau hanya mengatur mahasiswa yang duduk di bangku dua terdepan di lantai dua. Selain itu bukan tanggung jawab beliau. Aku pun menawarkan bantuan untuk sedikit meringankan pekerjaan Ibu tersebut, namun beliau menolaknya dengan alasan masih bisa dikerjakan sendiri. Aku segera kembali ke tempat duduk dengan sedikit kecewa. Namun, kekecewaan itu tidak berlangsung lama karena seorang temanku menghampiri tempat dudukku dan teman-temanku dengan membagi-bagikan snack. Alhasil, hampir selama 2 jam di graha aku dan teman-teman hanya mendapatkan snck saja, kejelasan gladi bersih belum kudapatkan. Namun mengenai pembagian tempat duduk, aku sudah mendapatkan informasi dari seorang dosen yang bertanggung jawab atas hal ini.
***
“Kepada Mas dan Mba serta teman-teman, harap mengambil undangan kuliah tamu di sekretariat HMTI”, begitu sms yang kudapati di layar hpku. Maka, sebelum berangkat kuliah Pengantar Technopreneur di Material, kusempatkan mampir di sekret HMTI untuk mengambil undangan.
“Besok dibawa Mba undangannya, klo gak bawa undangan ntar gak bisa masuk”, terang adik yang memberiku undangan di sekretariat HMTI.
“OK. Makasih Dek”, setelah berucap aku segera meninggalkan kampusku dan berangkat menuju tempat kuliah selanjutnya.
“Hey, Mba, ketemu lagi...”, sapaku pada seorang teman sekelas di mata kuliah Techno. Mba Via, Sipil 2006. Tadi pagi aku berjumpa di Graha waktu persiapan gladi bersih.
“Eh, udah dapet undangannya?” tanya Mba Via padaku.
“Udah Mba. Ada apa?”, timpalku.
“Aku belum dapet ni, masih belum jelas dapet ato gak”, ujar Mba Via lagi.
“Emm.. Mba Via ini diundang dari jurusan kah?”
“Enggak Dek. Aku daftar lewat sms itu lho, nitip temanku.”
Aku menjelaskan kepada Mba Via bahwa ada misscomunication yang terjadi antara mahasiswa dengan pihak birokrasi. Pihak BEM ITS menyangka bahwa undangan yang terkonfirmasi masih sedikit sehingga tempat kuliah tamu banyak yang kosong. Kemudian pihak BEM berinisiatif untuk membuka pendaftaran via sms bagi mahasiswa yang ingin mengikuti kuliah tamu. Belakangan, diketahui bahwa kursi kosong yang tersisa dialihkan untuk jurusan di ITS sehingga setiap jurusan mengirimkan perwakilan mahasiswa dan dosennya. Mahasiswa yang daftar via sms pun batal hadir dalam kuliah tamu tersebut. Setelah kuberikan penjelasan, Mba Via segera menghubungi temannya. Ternyata dia mendapatkan undangan dari jurusan. “Alhamdulillah... Rejeki Mba... ujarku.”
***
Selasa, 14 Desember 2010
Tidak biasanya pada pukul 6 pagi, ITS sudah ramai. Keramaian ini terlihat di daerah parkiran BAAK dan sekitar rektorat. Di depan gedung rektorat, terlihat beberapa bus dan Elf bertuliskan Institut Teknologi Sepuluh Nopember berbaris berjajaran. “Oh, itu bis yang mau dipake ngantar peserta kuliah tamu ke Graha”, ucapku pada seorang temanku yang berangkat bersamaku. Euforia kedatanagn SBY disambut sukacita oleh civitas akademika ITS. Mereka yang mendapatkan undangan kuliah tamu berdatangan di gedung rektorat. Sarapan telah disediakan, para civitas akademika yang memenuhi gedung rektorat segera mengambil jatah sarapannya hingga nasi kotak yang telah dijatah pas sesuai jumlah undangan kehabisan dan digantikan sego njamur. Setelah sarapan, para undangan mengambil id yang terdapat foto dan bertuliskan namanya. Beberapa mahasiswa yang merupakan undangan dari jurusan dengan mudah mendapatkan idnya. Sedangkan para aktivis ormawa yang juga mendapatkan undangan terlihat berkumpul di ruang sidang rektorat lantai 1 untuk menunggu kejelasan id.
Aku mendapatkan undangan dari jurusan, namun aku sedikit menemui kesulitan dalam mengambil id karena pada saat mengambil id harus menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Pada saat itu, aku tidak membawa KTM, yang kubawa adalah Kartu RBTI. Aku baru tahu info tersebut, padahal desas-desus yang beredar bahwa boleh menunjukkan kartu apapun yang penting ada foto dan menunjukkan mahasiswa ITS. Kutarik nafas panjang. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil KTM ku yang berada di salah satu Laboratorium jurusanku. Dengan berjalan kaki aku berangkat ke TI. Kupercepat langkahku supaya lebih cepat sampai di lab dan segera berangkat ke graha.
Seragam coklat. Itulah orang yang perama kali kulihat dikampusku. Kampusku dijaga ketat oleh mereka. Bapak-bapak ini kulihat tidur-tiduran di kantin dan di tempat duduk sekitar kantin. Ada juga yang sedang merokok dan berbincang-bincang dengan temannya.
“Permisi Pak, saya mau ke Lab itu (sambil menunjuk Lab APK, Jurusan Teknik Industri ITS). Saya mau mengembil KTM saya Pak.”
Pak polisi yang sedang jagongan di depan Lab APK malah nyangar-nyengir. Salah satu dari mereka menimpali dengan santai, “Iya Mba.. Mongo.. monggo..”.
Aku menarik nafas panjang. Ngeri juga melihat seragam coklat-coklat dan seragam serba hitam jagongan di kampus. Eits.. yang ini bukan adik-adik pramuka yang sedang berkunjung ataupun adik-adik yang sedang berlatih bela diri Lho... Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam satuan kemanan negara TNI dan Polri.
Dengan segera, aku memasukkan kunci pada lubang pintu dan membuka pintu Lab APK yang terbuat dari kayu. Aku berusaha secepat mungkin mengambil KTMku yang diletakkan di pintu lemari kaca Lab.
“Hup. Alhamdulillah.. KTMku aman..”
Dengan menggunakan segala daya dan upaya, aku segera kembali ke gedung rektorat. Aku tidak ingin kehikangan kesempatan emas ini gara-gara tidak membawa KTM. Sesampai di rektorat, aku pun bergegas ke tempat pengambilan ID-cad peserta. Setelah mendapatkannya, aku merasa lega karena sudah aman. Semua yang menjadi syarat untuk ikut kuliah umum RI 1 sudah kubawa.
Terdengar desas-desus bahwa peniti dilarang dipakai ke tempat kuliah umum di Graha. Whats..??? Informasi ini sungguh mengejutkanku. Beberapa teman yang menyapaku berkata bahwa jika mau ikut kuliah tamu, dilarang menggunakan benda-benda seperti peniti, pin, bros, dan benda lainnya. Hal ini dikarenakan sebelum keluar gedung rektorat, ada sebuah alat penyensor benda-benda berbahaya, termasuk peniti.
Mendengar hal tersebut, aku tidak langsung percaya. Aku pergi ke bagian tengah gedung rektorat lantai 1. Aku melihat para mahasiswi yang sebelumnya kulihat rapi berjilbab, kini mulai tersibukkan dengan dandanan jilbabnya. Mereka mencoba berjilbab tanpa menggunakan peniti ataupun sejenisnya. Caranya dengan dililil-lilitkan di sekitar leher kemudian dimasukkan bagian ujung jilbab ke bagian depan celah jilbab dekat pipi. Subhanallah... Aku terpesona dengan perjuangan mereka. Mereka sangat memiliki niat dan komitmen yang tinggi untuk tetap mengikuti kuliah umum RI 1 yang tergolong langka ini (karena baru pertama kali ada kuliah tamu RI 1 di ITS). Satu hal yang sangat aku sayangkan dari mereka yang telah berangkat terlebih dahulu menuju Graha? Mengapa tak seorang pun yang memperjuangkan hak seorang muslimah untuk mengikuti kuliah tamu RI 1 ini...? Semangatku untuk memperjuangkan para muslimah telah bulat. Dengan sedikit emosi, aku menghampiri petugas yang memeriksa pintu keluar gedung rektorat menuju bis pengantar ke Graha.
“Permisi Bapak, saya mau tanya”, ucapku.
“Iya Dek, ada apa?”, jawab petugas berpakaian serba hitam yang sedang berdiri di dekat pintu kaca gedung rektorat. Di sekelilingnya ada beberapa perempuan berpostur layaknya polwan yang tampil layaknya seorang model yang tegas dan berbadan tegap.
“Begini Bapak, saya mau mengkroscek informasi, apakah benar kita tidak boleh memakai peniti untuk menghadiri kuliah tamu RI 1? Klo informasi itu benar, kenapa penti tidak boleh digunakan?”, tanyaku berurutan.
“Iya Dek, informasi itu benar. Pemakaian peniti memang dilarang, karena kami tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama”, jawab petugas itu.
Di sekelilingku, banyak orang berjalan hilir mudik, menunggu kepastian keberangkatan. Ada juga yang dengan mudah melewati pintu penyensor dan lolos sensor, kemudian menaiki bus untuk berangkat ke graha. Kebanyakan mereka yang dengan mudah melewati screening awal du pintu rektorat adalah para dosen dan karyawan, serta mahasiswa yang tidak melibatkan peniti atau barang sejenisnya dalam kehidupan mereka.
Dengan emosi yang sudah memuncak aku tetap mencoba memperjuangkan benda kecil berbahan logam untuk tetap bisa digunakan para muslimah berangkat menuju graha, menyaksikan kuliah umum orang nomor 1 di Indonesia. Aku pun mengajukan pembelaan kepada petugas tadi. Kali ini, mbak-mbak yang ada di sekeliling petugas tadi juga siap menimpali pertanyaanku, ataupun siap bertindak mengamankanku jika aku melakukan aksi anarkis. Berlagak sok cool dan gaya santai dicampur gaya sok akrab ke petugas dan mbak-mbak itu, aku melakukan lobying.
“Waduuh Pak... ini kan cuman benda kecil. Peniti. Emang mau dibuat apa to sampai-sampai ketemu presiden aja nggak boleh pake peniti. Peniti juga nggak tajam-tajam amat. Tajeman silet, cutter, ato pisau. Nggak mungkin kita melukai presiden atau orang-orang di sana pake peniti...”, ujarku.
“Yang namanya peraturan, ya peraturan Dek. Dilarang ya dilarang. Kenapa peniti nggak boleh dipakai, karena beberapa waktu yang lalu, waktu ada kunjungan Boediono di Grand City, Surabaya, kami kecolongan. Para peserta yang ikut dalam acara Boediono itu masuk dengan membawa kain yang dipotong kecil-kecil dan disembunyikan di saku pakaian mereka. Di dalam ruangan, mereka menyambung potongan-potongan kain itu pake peniti sampai jadi seperti sapnduk dengan tulisan ‘Turunkan Boediono!’, jawab petugas itu.
“Oo gitu Pak.. Tapi kita mahasiswi ITS nggak bakalan macem-macem Pak. Nggak mungkin kami bertindak seanarkis itu. Kasihan loo Pak, saya dan teman saya udah siap berangkat, eh.. gara-gara peniti nggak bisa berangkat. Mereka sudah sejak pagi di sini, nunggu lama, tapi ternyata nggak boleh ikut.”
“Lhoo Dek.. ada koq yang pake jilbab juga tapi berangkat. Dia lho pake jilbabnya juga bagus, dililitkan ke leher gitu.”
“Hmm... menurut saya Pak, mereka sebenernya juga nggak nyaman. Bisa aja ntar jilbabnya tiba-tiba lepas lilitannya, eh.. malah nggak karuan. Dalam Islam Pak, jilbab seperti itu juga nggak syar’i karena kecil dan terasa terhimpit dililit jilbab. Gini deh Pak.. Saya berani jadi jaminan kalau ada mahasiswi yang memakai peniti bertindak anarkis, saya siap bertanggung jawab. Saya mau ketemu atasan Bapak langsung aja. Saya mau ijin langsung. Masak peniti aja nggak boleh dipake?”
“Atasan saya lagi nggak di sini Dek. Dia bertugas di Graha.”
“Yaah.. sama aja donk Pak, saya nggak bisa ke sana.”
“Yaudah.. ke rektormu aja”, saran petugas itu.
“Waah.. sepertinya tidak ada solusi yang tepat. Rektor saya pastinya juga sudah di Graha Pak. Yaudah deh Pak. Makasii atas infonya,” aku menutup pembicaran dengan petugas itu dengan rasa kecewa. Kemudian aku segera menemui teman-teman yang ada di pintu samping rektorat. Aku menceritakan semua isi pembicaraanku. Selesainya aku bercerita, teman-temanku juga memberikan respon yang sama seperti responku mengakhiri pembicaraan tadi.
“Oke.. tidak ada jalan lain. Kita harus pulang mengambil krdung yang langsungan. Karena kita harus tetap masuk. Jangan sampai melewatkan momen langka ini”, ujar Rahma.
“Yawdah deh.. aku ta pulang ngambil krudung. Ayok, siapa yang mau ikut aku ngambil krudung?, tanyaku pada teman-teman.
“Aku aja, ni aku bawa motor”, timpal seorang temanku bernama Ais.
“Oke.. ayo bergegas.. Ngebut y ntar.. supaya nggak ketinggalan”.
“Siip...”, jawab Ais.
Sesampainya di kos, aku segera mengambil semua krudung langsungan yang kupunya. Aku pun segera berganti krudung, beitu juga Ais. Kuraih tas yang tergeletak di lantai kamar, lalu kumasukkan semua krudung yang kupunya. “Ini untuk teman-teman yang lain juga, siapa tahu ada yang butuh”, batinku.
Aku berlari-lari menuju ke gedung rektorat setelah Ais menurunkanku di jalan depan Rektorat. Ais menyuruhku berangkat duluan, memberikan krudung-krudung itu, smentara ia memarkir sepeda motor. Dengan nafas terengah-engah, aku menawarkan krudung kepada teman-teman yang telah menungguku, mirip penjual asongan yang menawarkan dagangannya kepada para penumpang bus.
“Sementara ini, yang sudah jelas pasti berangkat adalah Rahma dan Hajar. Karena semua persyaratan sudah terpenuhi. Id-card, KTM, dan tanpa peniti. Kalian berangkat dulu aja”, ujar Fathin.
“Oke, aku berangkat dulu. Ayok Rahma...”, ajakku pada Rahma.
Aku dan Rahma segera bergegas menuju pintu penyensor itu. Melewati pintu yang dijaga petugas yang kutanya tadi dan mbak-mbak model yang sigap dan tegas. Aku dan Rahma lolos screening awal di gedung rektorat. Kemudian kami segera menaiki bus berwarna abu-abu yang bertuliskan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Bis mini yang kunaiki ini hanya dinaiki 4 orang penumpang. Meskipun jumlah bangku yang tersedia ada 30, sopir bis ITS tidak menunggu sampai penumpang penuh. Bis ini langsung berangkat karena mengejar waktu yang mepet dengan pembukaan kuliah tamu RI 1. Di bunderan ITS, kulihat banyak sekali bapak-bapak berseragam coklat dan berseragam hitam berdiri, bersiap siaga memblokade jalan. Jalan Kertajaya sudah dikosongkan dari kendaraan jenis apapun. Itu artinya RI 1 beserta rombongannya sedang dalam perjalanan menuju ke Graha ITS dan bis yang kunaiki otomatis harus mencari jalan lain menuju Graha.
Supir bis dengan keahlian yang dimiliki segera mengoper persneling dan melajukan bis ke arah jalan Asempayung. Kemudian berbelok ke kiri dan melaju di Jalan Arief Rahman Hakim. Di pertigaan Sakinah Supermarket, bis berbelok dan melesat di sekitar kampus ITS. Arah yang diambil supir bis adalah ke PPNS. Bis dan awaknya melaju dengan cepat melalui gedung-gedung jurusan di ITS. Teknik Elektro, Teknik Material, Teknik Kimia, Teknik Perkapalan, Teknik Kelautan, Teknik Informatika, Desain Produk, PPNS dan PENS. Alhamdulillah jalan raya ITS sudah dibuka. Berarti RI 1 dan rombongan telah memasuki kompleks Graha. Aku membatin dalam hati, “Apakah masih bisa masuk? Harus bisa lah...”. Teringat perjuangan panjangku sebelum menaiki bis ini.
Bis berhenti di pintu masuk sebelah utara Graha. Supir bis bingung mau masuk melalui pintu yang mana. Aku nekat turun di pintu tersebut untuk masuk Ke Graha. Namun kernet bus melarangku karena pintu itu bukan pintu masuknya. Aku mencoba bersabar. Akhirnya bis melaju lagi dan memasukipintu utama Graha. Aku melihat dari jendela bis, mobil-mobil berwarna hitam telah memadati tempat parkir utama Graha. Mobil berplat merah dan hitam dengan berbagai jenis warna dan merk juga memadati semua area parkir Graha. Dari jendela bis, aku juga melihat beberapa orang yang baru saja datang dan menuju pintu penyensor kedua ditolak kehadirannya oleh petugas yang menjaga. Alasannya karena acara sudah dimulai. Bis yang kunaiki belum berhenti, beberapa menit kemudian terlihat dua bus ITS yang membawa mahasiswa mengekor di belakang bus ku. Mereka turun, saya dan penumpang bus lainnya juga turun, berharap bisa masuk dan mengikuti kuliah tamu RI 1. Kedatangan kami ditolak oleh petugas yang berjaga. Kami datang terlambat, sementara Presiden RI sudah memasuki ruangan. Aku menghela nafas panjang. SABAR. Kemudian, kami para penumpang bus, kembali ke rektorat untuk melanjutkan aktivitas yang lain.
“Okee.. plan B..!! Nggak ikut kuliah tamu nggak masalah. Berarti kita bisa ikut aksi”, kataku pada Rahma untuk menyemangati diriku sendiri.
“Oke Mba. Siip..!!”, timpal Rahma.
Setelah bus ITS menurunkan para penumpang di gedung Rektorat, aku dan Rahma segera menuju ke BEM untuk bergabung dengan teman-teman yang berangkat aksi. Teman-teman BEM yang melihat kedatanganku kaget. Mereka menanyaiku mengapa nggak jadi ikut kuliah tamu RI 1. Setelah ku ceritakan, merekayang melihat kedatanganku kaget. Mereka menanyaiku mengapa tidak jadi ikut kuliah tamu RI 1. Setelah ku ceritakan, mereka memberikan respon yang bermacam-macam. Ada yang membesarkan hatiku, ada yang merutuki petugas-petugas itu, ada juga yang langsung mengajakku berangkat aksi.
Akhirnya, aku tergabung dalam barisan mahasiswa yang terbalut dengan kain berwarna biru. Mereka, para peserta aksi, menggunakan jas almamater masing-masing kampus. Para peserta aksi itu tidak hanya dari ITS tapi juga dari BEM UNAIR dan UMS. Dalam barisan ini, aku turut mengondisikan peserta aksi, mahasiswa yang lebih muda usianya dari ku. Memasok logistik dan membeli perlengkapan aksi, setidaknya itulah kontribusi nyataku dalam aksi ini. Dari pada duduk manis mendengarkan kuliah tamu dan tidak bisa berbuat apa-apa, lebih baik ikut aksi, begitu pikirku. Banyak teman-teman dari berbagai media yang meliput aksi kami, para mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI – Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia. Aksi BEM SI kali ini sangat unik, tidak hanya orator saja yang menyuarakan suara hati kami. Tak hanya cukup drama teatrikal saja. Namun juga ada aksi dorong-dorongan dengan bapak-bapak Polisi. Hmm... sekali lagi, lebih berkesan dari pada hanya duduk menonton orang bicara.
Sebaik-baik manusia merencanakan, rencana Allah-lah yang paling Indah. Subhanallah... Puji syukur Alhamdulillah tak hentinya kupanjatkan. Hanya gara-gara peniti, aku tak jadi mengikuti kuliah tamu RI 1. Namun aku merasa menjadi lebih berarti karena aku bisa ikut aksi ini. Hmm... pupuslah harapan setelah sekian lama berharap bisa berjumpa dan menyaksikan secara langsung RI 1 berpidato. But.. It's never mind... Insya Allah masih ada kesempatan lain.
********* Sekian..********