Bismillahirrohmaaniirrohim
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
(Sedikit share pengalaman hari ini)
Subhanallah, nikmat Allah sungguh tiada tandingannya. Meskipun hari ini aku hanya mengisi waktu enam jam di luar rumah, namun saat-saat itu sungguh sangat berarti. Diawali dengan mengantarkan adek ke sekolahnya di daerah Prapen. Kemudian kuarahkan laju Farnas ke daerah darmo, menuju rumah Allah yang berada di dekat Kebun Binatang Surabaya. Saat memarkir Farnas, sempat bertanya-tanya, sepagi ini parkiran sudah penuh..??? Subhanallah…. Oh.. mungkin ada pengajian habis subuh, makanya masih banyak motor di sini, pikirku dalam hati. Setelah selesai memarkir Farnas, kulangkahkan kaki ini menuju ruangan untuk jamaah putri.
Samar-samar dari bawah terdengar suara orang mengaji. Semakin keras nan jelas ketika kaki ini semakin mendekati sumber suara. Saat kaki tiba di anak tangga terakhir, terlihat jelas pemandangan yang membuatku takjub. Terdapat bundaran-bundaran kecil yang penghuninya para ibu-ibu dan nenek-nenek. Kutebarkan pandangan mataku menyapu sekeliling ruangan. Aku tidak menjumpai manusia seumuran dengan aku yang menjadi anggota bundaran itu. Subhanallah… hebat.. sungguh luar biasa. Di tengah kesibukan menjadi sosok ibu, yang memiliki seabreg pekerjaan, masih saja menyempatkan diri untuk belajar Kitabullah, pedoman hidup umat Islam. Tak terasa, rasa malu begitu mendalam begitu saja menyelimuti jiwaku. Kemana saja aku selama ini? Yang hilang di tengah kesibukan menjalankan amanah kuliah dan amanah organisasi, namun tak sempat banyak belajar agama. Baru di akhir-akhir semester saja ingat. Lamunanku buyar seketika ketika pandanganku tertuju pada jam dinding.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi lewat enam menit. Aku harus bersegera menunaikan aktivitasku karena satu jam lagi harus berpindah ke tempat lain. Setelah kurampungkan aktivitasku, aku segera berkemas untuk meninggalkan tempat tersebut. Saat itu, tak sengaja terdengar sebuah pembicaraan antara dua orang ibu yang telah merampungkan ritual paginya. “Ibu ikut kelas apa di sini?” Tanya ibu berkerudung krem. “Saya ikut kelas tafsir yang satu minggu sekali Bu”, kata Ibu yang masih mengenakan rukuh berwarna putih. “Oh.. ndak ikut mengaji yang seperti ini Bu (sambil menunjuk bundaran kelompok mengaji ibu-ibu)?”. “Oh, iya, saya juga ikut, tapi baru kelas tartil Bu, belum yang tahfidz”. Deg.. Subhanallah….. untuk kedua kalinya aku takjub yang dibarengi rasa malu. Aku berulang kali beristighfar. Belajar memang tak pandang usia. Tua, muda, boleh belajar. Belajar apa pun itu. Baik belajar membaca tulisan latin (abcdefg sampai z), bahasa inggris, bahasa arab (bahasa Al-Qur’an), atau belajar yang lain.
Perjalananku selanjutnya adalah menuju jalan dinoyo nomor 83. Segera kuparkirkan Farnas di parkiran bengkel. Aku mempercepat langkah kakiku karena jam digital pada handphoneku menunjukkan pukul delapan lewat 13 menit. Terdengar suara beberapa orang melantunkan firman Allah surat AL-Insyiqoq. Baru kali ini aku memasuki rumah itu di pagi hari. Di depan pintu kelas, aku merasa bimbang, khawatir tidak ada satu orang pun yang kukenal. Tapi aku harus segera memasukinya dan bergabung dengan mereka. Pintu ku dorong ke depan, kemudian kuucapkan salam dengan lirih, sambil menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Subhanallah…. Untuk ketiga kalinya aku merasa takjub dan malu. Orang-orang yang duduk di majelis itu hamper semuanya sudah lanjut usia. Kira-kira usianya sekitar 50 tahun ke atas. Akulah satu-satunya orang termuda di majelis tersebut. Pembacaan surat Al-Insyiqoq berakhir. Dilanjutkan dengan setoran hafalan. Ibu yang ditunjuk pertama kali membacakan surat Al-Baqoroh halaman ke dua dan ke tiga. Dilanjutkan dengan nenek-nenek yang mungkin usianya sudah 70tahunan. Beliau membacakan surat Al-Ghasyiyah. Kemudian Ibu berkerudung coklat dan berkaca mata. Beliau membacakan juz 2 (aku kurang tahu halaman berapa). Selanjutnya nenek yang enerjik, berbaju kuning. Beliau hamper saja menamatkan juz 30 dengan membaca surat-surat pendek bagian akhir. Kemudian seorang pensiunan puskesmas, yang juga seorang dokter gigi berusia 64 tahun. Beliau duduk tepat di sebelahku. Beliau membaca surat Al-Buruuj. Urutan selanjutnya aku. Kemudian ibu di sebelah kananku melanjutkan setoran dengan membaca surat Al-‘Alaq. Selanjutnya Ibu berbaju coklat, membaca surat At-Takatsur. Kemudian urutan terakhir adalah seoarng ibu muda yang sepertinya blasteran Arab (terlihat dari wajahnya yang putih, mancung) beliau membaca surat Al-Baqoroh halaman 4. Hingga akhir kelas, aku sungguh takjub. Semangat dan kemauan para peserta majelis tersebut yang rata-rata tergolong lansia sungguh patut diacungi jempol.
Selanjutnya perjalananku menuju jalan yang sama di nomor 53. Saat memasuki ruang utama, terlihat puluhan ibu-ibu telah menjejali ruangan itu. Terlihat pula dua orang bapak, satu kakek, dan sekitar empat pemuda turut menghadiri majelis yang akan membahas sebuah kitab. Pada majelis itu, keempat kalinya aku takjub dan malu. Majelis itu hamper didominasi ibu-ibu berusia tiga puluhan ke atas. Kemana para pemuda-pemudinya yaa..??? pikirku. Hmm…. Aku jadi memuhasabah diri. Apakah memang sudah menjadi tren, belajar mengaji dan menghadiri majelis-majelis ilmu dilakukan saat usia sudah mendekati batas akhir maut menjemput? Padahal kita tak tahu kapan kita dijemput malaikat Isrofil. Hikmah lain yang hari ini kudapat adalah berlomba-lomba dalam menumpuk pahala menuju tiket surga tak kenal usia. Surga diperebutkan oleh semua orang berapa pun usianya di seluruh penjuru dunia. Bagaimana denganku? Bagaimana dengan umat Islam yang lain? Pantaskah kita mendapatkan tiket menuju istana akhirat yang dijamin kesejahteraannya..? sudahkah kita memiliki amal unggulan untuk bersanding dengan hamba-hamba yang Mulia, Rasulullah saw, para Nabi dan Rasul, keluarga, para sahabat, para syuhada yang gugur di medan perang? Mari berfastabikul Khairat..
___JSR_13022012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar